Sri Sultan Hamengkubuwono X (Kraton
Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 – sekarang) adalah salah seorang raja yang
pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.
Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra
mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing
Mataram. Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan
dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921)
dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku
Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Dasa.
Hamengkubuwono X aktif dalam
berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah
ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT
Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG
Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur
DIY.Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998
beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa
jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi
Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi
beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa
jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam
IX.Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di
Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal
sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini
memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa
semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar
tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat,
sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai,
tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan
tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan.
Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya
puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan
berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama
menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan
damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat
isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron
sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah
sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.
Sri Sultan HB X dengan Keraton
Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu
juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi
hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan,
aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir
setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari
kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya
yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk
tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam
pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai
berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya
untuk kepentingan bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar