Nama aslinya adalah Raden Mas
Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia
naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada masa pemerintahan
Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya
berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk
menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya
sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan
masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern
didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920
Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih dari 80 tahun memutuskan untuk
turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa
ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota (GRM. Akhadiyat)
yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini
belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya
keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti
Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat
pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian tahta raja
kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal
dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan
pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang
ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di
luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati
mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur
mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan
kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak
pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya” yang artinya masih
dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di
luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di
luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat
Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri.
Hamengkubuwono VII meninggal di keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan
dimakamkan di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar